PE-JU (Pendapat Jujur): FILM DUA GARIS BIRU (2019) - "SEBUAH FILM TRAGEDI YANG MEMBUKA RUANG DISKUSI"

Fanart Dua Garis Biru kece by @yoanasabina

Pekan ini, akhirnya terbayar sudah penantian gue selama ini.
Film yang gue tunggu - tunggu semenjak artikel gue disini, Dua Garis Biru akhirnya rilis di layar lebar. Meskipun sudah lewat 7 hari semenjak penayangan perdananya, gue tetap sangat ingin mengulas film debut sutradara Gina S. Noer ini.

Bermula dari ketidaksengajaan menemukan akun Gina S. Noer di Instagram beberapa bulan lalu,
Gue langsung jatuh hati pada sebuah judul yang bahkan gue engga tahu itu akan terealisasi atau engga. Tapi dari namanya, dari first look-nya, dan dari tipografi judulnya, gue udah tahu si sutradara mau mengarah kemana. Hal ini membuat gue mcqueen yaqueen kalau film ini sudah mempunyai persiapan yang sangat matang jauh sebelum berani mengumumkan judul Dua Garis Biru ke publik. Makanya gue sangat bersemangat.

Dari awal judul film ini muncul, gue udah menduga pasti akan hits.
Antara dicekal atau diapresiasi. Ya, karena topiknya yang sensitif dan cukup tabu untuk dibahas di Indonesia yang menganut kental budaya ketimuran. Dan bener aja, udah banyak gerakan di sosial media yang menentang film ini, bahkan sampai di petisi karena diduga mengajarkan tentang pergaulan dan seks bebas berbasis dari judul dan trailer filmnya saja.

Benar engga sih seperti itu ?



Selamat datang di segmen Pe-Ju kedua,
selamat membaca !!
*****


Intro

Premis Dua Garis Biru menceritakan tentang hubungan remaja yang 'kebablasan' sehingga kedua belah pihak harus bertanggung jawab dan menerima konsekuensinya. Dari judulnya aja menurut gue film ini udah jelas dan menjual abis. Kelihatan banget film ini akan membahas soal apa. Itulah salah satu penyebab gue suka sama film ini. Dua Garis Biru berarti hasil positif dalam alat tes kehamilan. FYI, film ini udah menjadi kontroversi netizen sebelum filmnya rilis dengan asumsi mengajarkan remaja soal seks bebas. (mon maap, WTF !?)

Tapi yang gue suka dari seputar ide cerita ini adalah hal yang realistik namun masih tabu untuk dibahas, karena kehamilan diluar nikah selalu dikaitkan dengan aib.

Tapi malah itu adalah sisi yang menarik buat gue, karena kita engga pernah tahu bagaimana perspektif pelaku ketika harus menerima kenyataannya, seperti apa bentuk tanggung jawabnya, bagaimana kehidupan mereka kelak, dan gue rasa pertanyaan - pertanyaan tadi akan bisa dijawab melalui film ini. Yang berujung dengan pembelajaran bagi semua pihak untuk selalu waspada terhadap pergaulan bebas.

Ketika gue datang untuk menonton film ini, gue belom punya ekspektasi apa - apa. Tapi melihat respon masyarakat yang lumayan positif membuat gue tambah ingin menonton film ini, terlihat dari jumlah penonton yang signifikan setiap harinya.

Karena pada awalnya gue berpikir, film seperti ini memang 'beda' tapi gue sebagai penonton tentu sudah bisa menebak akan di bawa kemana alur ceritanya, udah bisa menduga bagian mana yang paling menegangkan, dan udah bisa mengira bagaimana dampak dari perbuatan mereka. Tapi itu kan masih dalam bentuk non-visual, jadi semuanya belum tergambar jelas.

Yang gue penasaran adalah bagaimana film ini akan mengeksekusi semua mindset orang - orang, termasuk gue. Dan yang paling bikin gue ingin tahu, adalah bagaimana cerita akhir dari film ini.


Nilai plus film ini

Selama gue menonton film Dua Garis Biru, gue mencatat banyak banget nilai plus dari ini.
Setelah gue rangkum, hal - hal inilah yang paling bikin gue susah move-on. Mungkin engga seluruh poinnya bisa gue tulis satu per satu, tapi kurang lebih inilah garis besarnya;

1. Setting yang sangat natural dan believable. Juara !!

Gue engga tahu ini terinspirasi dari sebuah kisah nyata atau riset yang sangat mendalam, tapi drama di film ini terasa sangat nyata. Seolah tidak ada settingan yang terjadi di film ini. Mulai dari karakter, setting tempat, properti, interaksi, dialog, dialek, akting. GILAAA.

Semuanya mengalir sehingga terasa sangat relateable dengan penoton.

Menurut gue, meskipun ini debut pertamanya sebagai seorang sutradara, Gina S. Noer mempunyai sebuah 'mata' yang baik. Setiap setting yang di tampilkan melalui adegan - adegan tidak hanya berfungsi sebagai latar saja, tetapi juga turut bercerita.

2. Cinematic yang bikin "Eyegasm"

Hats off
kepada Director of Photography dan Sutradara.
Dari film ini gue melihat banyak banget shot - shot yang memanjakan mata gue. Mulai dari one -  take shot suatu adegan selama kurang lebih lima menit di UKS yang sangat menegangkan hingga shot - shot sederhana yang berlatar pinggiran ibukota yang membuat gue sejenak berpikir bahwa alasan latar tempat yang biasa engga bisa membuat pengambilan gambar yang bagus adalah kesalahan.

Gue engga ngerti lagi, tapi cinematografi di film ini engga hanya eye-pleasuring saja tapi juga turut berperan besar sebagai pengisi sebuah adegan. Gue suka banget bagaimana banyak adegan di film ini bisa banyak menjelaskan tanpa perlu dijelaskan. Memberikan ruang untuk visual bercerita dan membiarkan penonton menginterpretasikan sendiri 'metafora' yang di sajikan melalui shot - shot yang ciamik. Gokil banget sih.

Misalnya strawberry yang di ble.. bla bla bla.. (dibaca: gue sebagai pengulas engga tega buat ngasih bocoran, karena ini terlalu sayang untuk di beritahukan lewat tulisan dan bukan dengan audio visual. Buruan nonton, bagus banget!!)

3.  Unsur musik yang masuk banget.

Setelah tadi mata kita puas dimanjain sama visual yang bagus banget, sekarang giliran telinga kita yang diberi kemewahan untuk menikmati alunan musik yang menembus sanubari. HNGGH !!!
Gue kagum dengan banyaknya scene indah yang tercipta dari hasil perkawinan antara musik dan cinemato yang hampir selalu bikin gue breathtaking. Merinding !!

Ternyata mayoritas musisi yang terlibat di film ini adalah musisi Indie.
Seperti Rara sekar dengan "Growing Up"-nya, Kunto Aji dengan "Sulung", dan Banda Neira dengan "Biru", dan masih banyak lagi.
Penempatan sound effect-nya juga sangat detail, setiap adegan terasa sangat nyata seolah - olah kita adalah saksi yang melihat langsung kejadian yang di alami oleh pemeran dalam film ini.

4. Pembentukan karakter yang kuat dari cast yang bukan kaleng - kaleng.

Bonding dari setiap karakter yang ada di film ini sangat kuat. Emosinya selalu tersampaikan, seberapa marah, seberapa malu, sayang, kesal, semuanya mantul ke penonton. Seenaknya memainkan emosi kami sebagai penonton. Wajar aja kalau kita pada baper sepanjang film.

Biasanya kalau menonton, gue pasti punya aktor favorit karena bagus aktingnya. Tapi kali ini, ketika gue nonton film Dua Garis Biru, gue engga punya favorit lagi. Bukan karena engga ada yang menonjol, tapi semuanya seimbang. Chemistry Angga Yunanda dan Zara sebagai pasangan remaja yang bisa banget menggambarkan lucunya masa romansa ketika remaja, atau bagaimana Cut Mini menggambarkan sosok seorang ibu yang sangat penyayang melalui aktingnya sebagai Ibu Bima atau Lulu Tobing sebagai Ibu Dara yang mempunyai harapan yang sangat tinggi kepada anaknya dan harus menelan rasa kecewa. Semuanya apik.

5. Komedi yang pas dan sesuai ketika dibutuhkan.

OH IYA,
Awalnya gue juga engga menyangka film ini akan ada unsur komedinya, tapi gue paham kalau unsur komedi disini bertujuan untuk meredakan keintensifan dari film ini. Nyatanya, komedi yang di sajikan sangat menghibur. Diluar dugaan, gue sangat menikmati unsur komedi di film ini.

Gue engga tahu film ini menggunakan comedy consultant atau engga, tapi sisi komediknya selalu muncul di waktu yang tepat, pas banget untuk mencairkan tensi yang tinggi. Sajiannya juga gampang dimengerti dan mengundang gelak tawa.

Favorit gue adalah ketika adegan ketika Cut Mini mengulek gado - gado atau ketoprak sambil marah - marah, dan ketika Asri Welas muncul sebagai ibu hamil.

6. Sebuah film yang mengubah hal tabu menjadi tahu. Sebuah edukasi yang memberikan prevensi. Sebuah tragedi yang membuka ruang diskusi.

Dengan film ini, menurut gue membuka suatu babak baru dalam perfilman Indonesia. Dengan banyaknya appresiasi dan antusiasme penoton dengan topik 'tabu' ini, seolah pelan - pelan merubuhkan 'tembok' isu sensitif dalam berbagai aspek. Harapan gue ke depannya, sineas Indonesia lebih berani menyampaikan keresahan mereka melalui film dengan pesan moral yang positif.


Yang gue sayangkan dari film ini


Disela - sela durasi film ini, gue secara pribadi merasa film ini kurang di beberapa bagian, diantaranya;

1. Alur yang tidak pasti, terkadang sangat cepat, terkadang terasa begitu lama.

Bagian awal film ini dilalui dengan sangat cepat, mungkin bertujuan untuk fokus ke inti cerita dan meyakinkan masyarakat bahwa ceritanya engga berfokus di kenakalan remajanya. Misalnya,

SPOILER WARNING !

[Seperti tiba - tiba usia kehamilan Dara sudah 10 minggu, padahal masih di fase awal cerita.

Namun ketika sudah memasuki fase dimana Dara mau melahirkan, alurnya terasa kian melambat.

Kalau kalian bukan orang yang menikmati sebuah alur lambat di sebuah film, mungkin di pertengahan durasi kalian akan merasa sedikit 'bosan' karena sudah mulai masuk ke detail keseharian mereka.]

2. Penempatan sound effect yang mengganggu dialog atau di beberapa adegan penting.Ini mungkin minor, tapi gue terkadang tidak mendengar dialog penting karena suara ambient yang terlalu besar. Seperti,

SPOILER WARNING !

[Ketika kepala Dara terbentur oleh bola basket, suara teman - teman Dara yang berisik sedikit menggangu dialog Dara kepada Bima tentang kekhawatiran terhadap bayinya saat itu.]

atau ketika,

[Suara musik dangdut yang keras ketika Dara dan Bima sedang bersandar satu sama lain, meskipun berbasis realita tapi untuk kepentingan film seharusnya bisa di-adjust lagi.]

3. Beberapa dialog yang terlalu dewasa untuk diucapkan oleh anak remaja.

Gue sering banget menyadari dialog yang diucapkan Dara ketika hampir setiap saat beradu mulut dengan kedua orang tuanya berkesan terlalu dewasa untuk sebuah reflek yang diucapkan seorang remaja. (yang hampir selalu membuat kedua orang tua Dara diam dan tertegun).

Beberapa dialog Bima juga berkesan seperti pria berumur kepala tiga yang udah mengerti arti bertanggung jawab, menjadi seorang ayah, dan menanggung sebuah konsekuensi secara penuh.

Gue engga bisa inget detailnya, tapi ketika line tadi muncul gue berpikir kurang lebih begini;
"Apa anak remaja emang agak berat ya bahasanya sekarang ?" 😕

-----

Tapi berbanding dari semua poin diatas, segala unsur di film ini JAUH MENUTUPI segala kekurangan yang saya sebutkan.

Kurang yang terakhir, kurang banget kalau hanya nonton sekali. 😄


A.K.A TLTR; Too Long To Read




EYEGASM !
9.0 / 10


Menurut gue film dua garis biru ini sangat MENYEGARKAN. Di tengah maraknya film yang mengandalkan teknologi dan CGI dengan cerita yang fantastik, Dua Garis Biru hadir dan mampu menarik perhatian dari sebuah kisah sederhana yang terlalu takut untuk dibicarakan.

Sebuah film yang gue harap mampu merubuhkan tembok untuk mengetahui pentingnya membahas sex education di dalam keluarga. Sebuah film yang membuka sebuah ruang diskusi. Mungkin untuk orang tua kita, mungkin untuk kita, dan mungkin untuk masa depan kita.

Meskipun ini adalah film debut karya Gina S. Noer, menurut gue doi terbilang sangat sukses sebagai seorang sutradara di film pertamanya ini, gue juga sangat kagum bagaimana Gina S. Noer bisa menerjemahkan semua aspek dari film Dua Garis Biru secara teratur. Sindiran, tamparan, dan yang paling penting, sebuah pesan dari sebuah keresahan. Cocok banget buat kalian yang mencari sebuah film untuk ditonton bersama teman, pacar, atau bersama keluarga.

Gue harus bilang, film ini melampaui semua ekspektasi gue dari skema yang ada di kepala gue JAUH TINGGI. Gue rasa ulasan gue disini engga cukup mewakili semua perasaan gue terhadap film ini. AMAT BANYAK, seperti bintang kecil di langit yang tinggi.
Namun ucapan terima kasih yang sangat mendalam adalah bentuk rasa syukur saya terhadap film ini.

Terima kasih Gina S. Noer sebagai sutradara
Terima kasih Chandra Parwez sebagai produser
Terima kasih kepada seluruh kru film yang terlibat, dan
Terima kasih DUA GARIS BIRU untuk film dan pesannya.

Film ini sekarang hampir menyentuh 2 juta penonton,
Kalian udah termasuk belum ?



*lil notes :Special thanks to Yoana for the fanart (Go check her IG out @yoanasabina for more !)
I planned to release the deep thought things earlier than this review, but some visual images aren't ready, so I ended up decided to post Pe-Ju first.

But I thank you for the enthusiastic deep thought vote on Instagram.
- imonyet

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Blank Page

Random Thought #2 : Layangan Yang Lepas

Berlomba Di Jalur Yang Berbeda